Hari Kependudukan Sedunia

Hari Kependudukan Sedunia

Oleh: Drs. Mardiya

Ka Bidang Pengendalian Penduduk

 

Setiap tanggal 11 Juli, seluruh bangsa di dunia memperingati World Population Day atau Hari Kependudukan Sedunia. Hari Kependudukan Dunia ditetapkan oleh PBB sebagai bentuk perhatian besar masyarakat pada peringatan “Hari Lima Miliar” penduduk dunia yang terjadi pada 1987 silam. Sejak saat itu, populasi dunia terus bertambah dan berdampak pada meningkatnya permasalahan kependudukan. Dengan demikian, sesungguhnya peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap permasalahan dan dampak kependudukan baik di tingkat global, nasional maupun lokal.

Pada tahun 2021 ini tema global yang diangkat adalah “Rights and choices are the answer: Prioritizing the reproductive health and rights of the people”. Sedangkan sub tema adalah “Pemenuhan Hak Kesehatan Reproduksi untuk Percepatan Penurunan Stunting”

Di tingkat nasional, setidaknya ada enam masalah kependudukan krusial yang dihadapi bangsa kita saat ini. Pertama, rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Menurut Ka BKKBN dr.H. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K), sekitar 30% SDM yang ada di Indonesia  kualitasnya  di bawah standar. Ketidaktahuan dan ketidaksiapan pasangan saat menikah menimbulkan banyak risiko kesehatan terhadap ibu dan bayi yang dilahirkan. Ketidaktahuan itu juga menurunkan kemampuan pasangan muda untuk menghasilkan generasi baru yang unggul dan berkualitas.

Kedua, masih banyaknya perempuan menikah muda. Di Indonesia, satu dari sembilan anak perempuan berusia 20-24 tahun sudah menikah sebelum mencapai usia 18 tahun. Saat ini, ada 1,2 juta kasus perkawinan anak yang menempatkan Indonesia di urutan ke-8 di dunia dari segi angka perkawinan anak secara global. Banyak di antara mereka tidak paham tentang masalah bagaimana mengatur jarak aman kelahiran agar anak bisa lahir dengan sehat dan tidak stunting (gagal tumbuh). Secara demografis, banyaknya pernikahan muda akan berdampak terhadap meningkatnya laju pertumbuhan penduduk.

Ketiga, masih banyaknya perempuan melahirkan di usia muda. Hingga saat ini masih banyak sekali bayi yang setiap tahun dilahirkan dari orang-orang yang masih berusia sekitar 15 hingga 19 tahun. Jumlahnya mencapai setengah juta orang. Secara medis, bayi-bayi yang lahir dari ibu yang masih sangat muda itu berpotensi lahir dengan ukuran di bawah standar sekitar 10% dan prematur (sebelum waktunya) mencapai 20%.

Keempat,  minimnya  pengetahuan tentang penyiapan generasi unggul. Edukasi dan kesadaran untuk mempersiapkan 1.000 Hari Pertama Kehidupan(HPK) bayi sesungguhnya sangat penting, namun belum banyak disadari oleh masyarakat kita. Seribu hari pertama kehidupan itu tercapai ketika anak sudah mencapai 3 tahun. Kecukupan asupan nutrisi dan gizi pada rentang usia tersebut menjadi kunci agar bayi yang dilahirkan menjadi generasi baru yang unggul dan berkualitas. Anak yang tidak cukup mendapatkan asupan gizi dan nutrisi bisa mengalami gizi buruk dan memicu stunting.

Kelima, kurangnya perencanaan berkeluarga. Remaja dulu dan sekarang berbeda karakter. Remaja saat ini banyak yang tidak memiliki perencanaan masa depan yang matang, sehingga perlu diajak memahami pentingnya lima tahapan kehidupan yakni, melaksanakan pola hidup sehat dengan makan-makanan bergizi, meraih cita-cita melalui pendidikan yang baik, memiliki karir atau pekerjaan baik laki-laki maupun perempuan, menjadi anggota masyarakat, dan berkeluarga. Ini menjadi jalan mempersiapkan remaja agar siap menjadi orangtua pada waktunya.

Keenam, ledakan kelahiran pasca pandemi.  Pandemi Covid-19 telah menyebabkan meningkatnya kehamilan yang tidak dikehendaki oleh Pasangan Usia Subur (PUS) akibat adanya hambatan dalam mengakses layanan kontrasepsi seiring pemberlakuan kebijakan pemerintah berupa physical dan social distancing. Diketahui, ada peningkatan sebesar 17,5% angka kehamilan yang tidak dikehendaki jika dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi. Rata-rata penggunaan alat kontrasepsi dari Februari hingga Maret secara nasional menurun sebanyak 40%. Di daerah tertentu, seperti Banten dan Sulawesi Barat, angkanya mencapai 50%. Untuk itu, patut diantisipasi adanya ledakan kelahiran anak yang bisa membuat penambahan jumlah penduduk Indonesia  melebihi 4,5 juta jiwa.